Selasa, 23 November 2010

Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat

Indonesia sebagai salah satu negara tropis terbesar di dunia dikaruniakan potensi sumberdaya alam yang luar biasa kaya, melimpah, dan beranekaragam. Kekayaan alam tersebut diperlengkap dengan hadirnya kearifan lokal masyarakat yang tidak kalah beranekaragam, seperti halnya keanekaragaman hayati yang terkandung di alam Indonesia. Kolaborasi antara keanekaragaman hayati dan keanekaragaman kearifan lokal masyarakatnya menghasilkan suatu potensi kekayaan yang tidak ternilai. Salah satu kolaborasi yang tercipta adalah kearifan lokal masyarakat adat dalam memanfaatkan keanekaragaman tumbuhan obat yang ada.
Kearifan lokal masyarakat, terutama masyarakat adat, dalam memanfaatkan tumbuhan obat merupakan warisan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi penerusnya dan telah berlangsung dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Kearifan lokal ini bermula dari hasil uji coba masyarakat (trial and error) terhadap tumbuhan-tumbuhan yang ada disekitar tempat hidup mereka untuk memenuhi kebutuhan akan pengobatan. Kearifan lokal masyarakat tersebut akhirnya terkristalisasi menjadi suatu menjadi pegangan bagi mereka dalam memenuhi kebutuhan akan pengobatan.
Zuhud (2008) menyebutkan bahwa hingga tahun 2001 setidaknya terdapat 2039 spesies tumbuhan obat yang berasal dari hutan tropika Indonesia telah berhasil didata. Keberadaan hutan menjadi sangat penting dikarenakan proses pembentukan yang sangat lama dan  panjang dan juga hasil interaksi sosio-budaya masyarakat lokal disekitar dengan hutan menjadikan setiap tipe ekosistem hutan merupakan pabrik alami bagi keanekaragaman hayati tumbuhan obat (Zuhud 2008). Berdasarkan famili-nya, tumbuhan obat di Indonesia sedikitnya 2039 tumbuhan obat yang telah terdeteksi terbagi ke dalam 203 famili dengan famili yang memiliki spesies tumbuhan obat paling banyak adalah Fabaceae (110 spesies). Tumbuhan obat di Indonesia juga tersebar dalam 7 formasi hutan, yaitu: hutan hujan tropika dataran rendah, hutan musim, hutan savana, hutan pantai, hutan mangrove, hutan rawa, dan hutan hujan tropika pegunungan. Dari ketujuh formasi hutan tersebut, hutan hujan tropika dataran rendah merupakan hutan dengan jumlah spesies tumbuhan obat terbanyak, yaitu 772 dari 2039 spesies (37,88%).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa masyarakat adat masih cenderung mempertahankan untuk menggunakan tumbuhan obat untuk memenuhi kebutuhan obat mereka. Inama (2008) menyebutkan bahwa suku Marind Sendawi Anim di TN Wasur menggunakan 125 spesies tumbuhan berkhasiat obat. Hasil penelitian di tempat lain, masyarakat di sekitar Hutan Lindung Gunung Limut, Kalimantan Timur, menggunakan 91 spesies tumbuhan berkhasiat obat (Nurhayati 2006), di TN Bali Barat sebanyak 59 spesies tumbuhan obat (Arafah 2005), di masyarakat Dayak Meratus, Kalimantan Selatan, sebanyak 95 spesies tumbuhan obat (Kartikawati 2004), di masyarakat lokal suku Muna, Sulawesi Utara, sebanyak 61 spesies tumbuhan obat (Windandri 2006), di masyarakat Talang Mamak, TN Bukit Tigapuluh, Riau, sebanyak 78 spesies tumbuhan obat (Setyowati dan Wardah 2007). Hasil penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan bahan-bahan obat alami masih menjadi pilihan bagi masyarakat adat. Selain itu, hasil penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa kearifan lokal masyarakat adat dalam memanfaatkan bahan-bahan dari alam tersebar merata di seluruh Indonesia.
Akan tetapi, patut disadari pula bahwa arus informasi dan modernisasi yang kian pesat berkembang dapat menjadi faktor utama penyebab hilang dan tererosinya kearifan lokal masyarakat adat (Windandri 2006; Setyowati dan Wardah 2007). Selain erosi pada tingkat kearifan lokal masyarakat adat, perhatian juga patut diberikan pada faktor tumbuhan obat yang terancam  keletariannya. Zuhud et al. (1994) mengidentifikasikan sedikitnya terdapat 6 faktor yang mengancam kelestarian tumbuhan obat dari hutan tropika, yaitu:
  1. Sebagian besar bahan baku obat tradisional berasal dari tumbuhan yang dipanen secara langsung dari alam/hutan secara besar-besaran. Hasil pemanenan dari usaha budidaya belum dapat mengimbangi pemanenan dari alam.
  2. Kerusakan habitat akibat: eksploitasi hutan (pembalakan), perambahan hutan, perladangan berpindah, penebangan liar, kegiatan eksploitasi barang tambang, pembukaan jalan, dan lain-lain.
  3. Konversi hutan menjadi lahan non-hutan.
  4. Eksploitasi hasil hutan kayu yang merupakan spesies pohon komersial, dimana spesies kayu komersial tersebut juga merupakan spesies tumbuhan obat.
  5. Kurangnya perhatian terhadap pembudidayaan.
  6. Tererosinya budaya dan pengetahuan tradisional dari penduduk lokal yang berdiam di dalam atau di sekitar hutan.
DAFTAR PUSTAKA
(Nurhayati 2006), (Arafah 2005), (Kartikawati 2004), (Inama 2008)  *belum di koreksi ulang lagi, nanti akan saya edit, mohon maaf.
Setyowati FM, Wardah. 2007. Keanekaragaman Tumbuhan Obat Masyarakat Talang Mamak di Sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Riau. Biodiversitas 8 (3) : 228-232.
Windadri FI, Rahayu M, Uji T, Rustiami H. 2006. Pemanfaatan Tumbuhan sebagai Bahan Obat oleh Masyarakat Lokal Suku Muna di Kecamatan Wakarumba, Kabupaten Muna, Sulawesi Utara. Biodiversitas 7 (4) : 333-339.
Zuhud EAM, Ekarelawan, Riswan S. 1994. Hutan Tropika Indonesia Sebagai Sumber Keanekaragaman Plasma Nutfah Tumbuhan Obat, dalam Zuhud EAM, Haryanto (editor). Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB dan Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN)
Zuhud EAM. 2008. Potensi Hutan Tropika Indonesia Sebagai Penyangga Bahan Obat Alam Untuk Kesehatan Bangsa. http://www.iwf.or.id/ Potensihutanobat.pdf.  [14 Oktober 2009]

0 comments:

Posting Komentar

zorpia

Edit Event
Dear Noor,
Say hello to new Zorpians from JaKaRta BaRaT
 

Recent Post

Pendukung

Powered By Blogger

Iklan

Status Rank

Iklan