Rabu, 24 November 2010

video gunung merapi erupsi

»»  read more

Selasa, 23 November 2010

Wikinomics untuk Keadilan Sosial

KITA sedang memasuki suatu era tatanan kehidupan berpartisipasi ekonomi melalui suatu cara baru, tidak seperti sebelumnya.Hal ini karena terjadi perubahan besar dalam teknologi, lingkup bisnis, persekutuan ekonomi, lingkungan, dan aneka dimensi kehidupan di seantero dunia.
Partisipasi dalam ekonomi melalui cara baru ini memiliki bentuk yang khas, sebab ada kemajuan jaringan kerja sosial dan ekonomi berbentuk kolaborasi yang mengubah bagaimana barang dan jasa dikelola, dialokasikan, diproduksi, dipasarkan, maupun didistribusikan dalam basis lokal maupun global.
Perubahan ini memberikan peluang bagi setiap pelaku ekonomi, baik perusahaan maupun perorangan, untuk membangun kolaborasi yang memacu aliansi guna memanfaatkan secara tajam collective capability secara timbal balik seraya memacu sinergi yang berdaya guna. Don Tapscott dan Anthony D Williams dalam Wikinomics (2006) mengatakan, di masa lampau, kolaborasi dilakukan dalam skala yang belum meluas. Hal ini terjadi dalam hubungan pertemanan, perkumpulan antaranggota keluarga, persaudaraan komunitas, dan solidaritas antarpekerja.
Secara perlahan, kolaborasi mulai menyentuh skala yang lebih luas, sebab ada solidaritas atau ikatan kerja sama yang meluas dalam lingkup kontrak sosial untuk tolong-menolong, berbagi rezeki, dan risiko. Tapscott dan Williams mengatakan pula, saat kini telah terjadi aneka perubahan. Perkembangan akses teknologi informasi memudahkan orang untuk membangun kolaborasi, menciptakan nilai,dan berbagi kesempatan dalam dinamika tantangan yang membaru.
Hal ini memberi ruang gerak yang lebih luas kepada orang untuk ikut serta menciptakan inovasi dan aset dalam aneka sektor ekonomi.Bahkan,berjutajuta orang membangun kekuatan dalam suatu kolaborasi yang menghasilkan aneka barang dan jasa baru yang dinamis.Model inovasi dengan nilai baru menghasilkan produk yang membaru sebab aneka kolaborasi secara terbuka mampu menciptakan aneka produk yang bermakna dan memiliki nilai ekonomis tinggi.
Sebagai contoh dapat dilihat dari produksi yang dihasilkan oleh kolaborasi antara perusahaan dan rumah tangga. Bisnis kapas, kain, pakaian, sepatu, tas, mainan anak-anak, makanan suplemen, komputer, dan IT, kian menunjukkan kolaborasi dan sinergi yang bernilai. Berbarengan dengan riak bisnis di tingkat global yang tidak pernah terjadi sebelumnya, orang memiliki kekuatan dan kesempatan untuk membangun jaringan guna memacu suatu proses di bidang ekonomi untuk memelihara pasar domestik yang dirugikan oleh globalisasi di luar batas kepantasan.
Kini orang membagi pengetahuan, menghitung kekuatan, dan aneka sumber daya lain untuk menciptakan barang dan jasa di mana setiap orang dapat menggunakannya atau memodifikasinya. Yang dibutuhkan orang adalah komputer, koneksi jaringan, dan pijar-pijar inisiatif dan kreativitas untuk masuk dalam ekonomi. Kolaborasi baru ini tidak hanya akan melayani kepentingan komersial, tetapi juga membantu masyarakat melakukan aneka kegiatan untuk kepentingan publik, seperti mencegah penyakit, memperkirakan perubahan iklim global dalam menghadapi bencana alam, gempa bumi, tanah longsor, banjir, maupun upaya menemukan planet dan bintang baru.
Peneliti di Olson Laboratory menggunakan sebuah superkomputer untuk meneliti sebuah virus berbahaya yang kemudian dikenal sebagai virus HIV/AIDS. Wikinomics memacu asumsi terdalam tentang dinamika bisnis. Berdasarkan proyek riset bernilai USD9 juta yang dipimpin Don Tapscott, Wikinomics menunjukkan bagaimana rakyat dapat berpartisipasi dalam ekonomi yang menantang, tidak seperti sebelumnya. Misalnya, mereka membuat berita-berita televisi, memperindah musik favorit mereka,mendesain software, menemukan resep untuk mencegah dan mengobati aneka penyakit, mengedit naskah, menginventarisasi kosmetik-kosmetik baru, dan bahkan membuat sepeda motor.
Wikinomics akan semakin berproses dalam lingkup bisnis di abad ke-21 ini dan akan terus mengalir laksana air di sungai. Kini, tak satu pun perusahaan dapat berinovasi secara cepat atau dapat bertumbuh menjadi besar dari dirinya sendiri. Wikinomics mengungkap suatu tahap historis di masa datang—seni dan ilmu kolaborasi— di mana para pelaku ekonomi lebih bersikap terbuka kepada dunia usaha untuk memunculkan kerja sama dalam rangka memacu collective capability yang lebih bernilai daripada sebelumnya, seraya memacu good governance yang kian dipercayai semua pihak yang terlibat.
Wikinomics menunjukkan suatu perubahan yang besar dalam kolaborasi sampai saat ini. Kecuali itu, mengungkapkan sesuatu yang esensial bagi mereka yang ingin memahami suatu kekuatan dahsyat yang akan mengubah kinerja para pelaku ekonomi dan menunjukkan jalan keluar yang akan mereka tempuh untuk memecahkan masalah dalam lingkup solusi yang elegan. Wikinomics menjelaskan tentang kebenaran yang dicari di pasar di seantero dunia tentang alokasi ekonomi yang tidak menimbulkan kesenjangan—seperti yang terjadi selama ini. Bahkan, di sana-sini Wikinomics mau dipacu supaya tercapai optimum pareto alias ”di sini senang di sana senang” dan tidak terjadi eksploitasi. Juga memperjelas aneka bentuk kolaborasi bisnis dan memberikan strategi baru yang powerful bagi para pemimpin bisnis di dunia, yakni para pelanggan, karyawan, dan produsen memacu sinergi biaya untuk kepentingan timbal balik yang bernilai, serentak menghilangkan penghisapan satu terhadap yang lain.
Tapscott dan Williams menyebut ”how mass collaboration change everything.”Hal ini berangkat dari pengalaman mereka di Hawai, tempat perusahaan-perusahaan dan koperasi-koperasi yang memacu jaringan kerja sama timbalbalik selalu menghasilkan nilai lebih. Dalam pandangan mereka, perlu dimunculkan budaya kolaborasi yang bernilai yang dilihat dari beberapa sudut atau aspek, seperti kualitas sharing dan kualitas kolaborasi dari para pelaku ekonomi yang selama ini bekerja secara sendiri-sendiri.Kecuali itu, perlu ada kokreasi (co-creation) dari masyarakat yang bekerja sama. Juga perlu ada partisipasi yang berarti, baik melalui cara-cara lama maupun cara-cara baru.
MenurutTapscott dan Williams, kekuatan ekonomi rakyat sebenarnya bergantung pada beberapa aspek tersebut, bagaimana menggerakkan gotong-royong,efisiensi, sinergi serta aspek-aspek positif lainnya. Hal ini tidak terlampau berbeda dengan apa yang dikatakan Bung Hatta tentang filosofi sapu lidi, bersatu untuk menghasilkan inovasi. Ekonomi kerakyatan merupakan contoh bagaimana kolaborasi dan jaringan sosial meningkatkan produktivitas dan nilai tambah.
Wikinomics berkaitan erat dengan pengembangan ekonomi rakyat yang menghendaki adanya alokasi ekonomi yang sebaik-baiknya, seadil-adilnya, dihindarkannya eksploitasi dan pemerasan melalui keanekaragaman,serta adanya peningkatan produktivitas baik secara sosial maupun ekonomi yang bergerak menuju kesejahteraan bersama. Berkaitan dengan ini, pendekatan-pendekatan dari bawah dan pengakuan kepada kemajemukan pelaku-pelaku ekonomi harus dihargai secara bernilai.Wikinomics menyatukan keanekaragaman dengan mengakui perbedaannya. Diusahakan pula suatu proses sharing dan keterbukaan akses yang transparan dan berkeadilan.
Wikinomics terutama memacu apa yang dinamakan NMC (new mass collaboration) yang menghasilkan nilai tambah yang terus-menerus karena ada proses sharing, pain sharing, profit sharing, cost sharing dalam lingkup kokreasi yang dialogial yang bermanfaat timbal-balik bagi para pelaku ekonomi yang melakukan kerja sama, seraya memperbaiki mutu kerja sama antarmereka secara berkelanjutan. Juga menghilangkan kesenjangan, distorsi, dan pemerasan ekonomi di antara para pelaku ekonomi yang berkolaborasi.(*)
»»  read more

Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat

Indonesia sebagai salah satu negara tropis terbesar di dunia dikaruniakan potensi sumberdaya alam yang luar biasa kaya, melimpah, dan beranekaragam. Kekayaan alam tersebut diperlengkap dengan hadirnya kearifan lokal masyarakat yang tidak kalah beranekaragam, seperti halnya keanekaragaman hayati yang terkandung di alam Indonesia. Kolaborasi antara keanekaragaman hayati dan keanekaragaman kearifan lokal masyarakatnya menghasilkan suatu potensi kekayaan yang tidak ternilai. Salah satu kolaborasi yang tercipta adalah kearifan lokal masyarakat adat dalam memanfaatkan keanekaragaman tumbuhan obat yang ada.
Kearifan lokal masyarakat, terutama masyarakat adat, dalam memanfaatkan tumbuhan obat merupakan warisan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi penerusnya dan telah berlangsung dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Kearifan lokal ini bermula dari hasil uji coba masyarakat (trial and error) terhadap tumbuhan-tumbuhan yang ada disekitar tempat hidup mereka untuk memenuhi kebutuhan akan pengobatan. Kearifan lokal masyarakat tersebut akhirnya terkristalisasi menjadi suatu menjadi pegangan bagi mereka dalam memenuhi kebutuhan akan pengobatan.
Zuhud (2008) menyebutkan bahwa hingga tahun 2001 setidaknya terdapat 2039 spesies tumbuhan obat yang berasal dari hutan tropika Indonesia telah berhasil didata. Keberadaan hutan menjadi sangat penting dikarenakan proses pembentukan yang sangat lama dan  panjang dan juga hasil interaksi sosio-budaya masyarakat lokal disekitar dengan hutan menjadikan setiap tipe ekosistem hutan merupakan pabrik alami bagi keanekaragaman hayati tumbuhan obat (Zuhud 2008). Berdasarkan famili-nya, tumbuhan obat di Indonesia sedikitnya 2039 tumbuhan obat yang telah terdeteksi terbagi ke dalam 203 famili dengan famili yang memiliki spesies tumbuhan obat paling banyak adalah Fabaceae (110 spesies). Tumbuhan obat di Indonesia juga tersebar dalam 7 formasi hutan, yaitu: hutan hujan tropika dataran rendah, hutan musim, hutan savana, hutan pantai, hutan mangrove, hutan rawa, dan hutan hujan tropika pegunungan. Dari ketujuh formasi hutan tersebut, hutan hujan tropika dataran rendah merupakan hutan dengan jumlah spesies tumbuhan obat terbanyak, yaitu 772 dari 2039 spesies (37,88%).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa masyarakat adat masih cenderung mempertahankan untuk menggunakan tumbuhan obat untuk memenuhi kebutuhan obat mereka. Inama (2008) menyebutkan bahwa suku Marind Sendawi Anim di TN Wasur menggunakan 125 spesies tumbuhan berkhasiat obat. Hasil penelitian di tempat lain, masyarakat di sekitar Hutan Lindung Gunung Limut, Kalimantan Timur, menggunakan 91 spesies tumbuhan berkhasiat obat (Nurhayati 2006), di TN Bali Barat sebanyak 59 spesies tumbuhan obat (Arafah 2005), di masyarakat Dayak Meratus, Kalimantan Selatan, sebanyak 95 spesies tumbuhan obat (Kartikawati 2004), di masyarakat lokal suku Muna, Sulawesi Utara, sebanyak 61 spesies tumbuhan obat (Windandri 2006), di masyarakat Talang Mamak, TN Bukit Tigapuluh, Riau, sebanyak 78 spesies tumbuhan obat (Setyowati dan Wardah 2007). Hasil penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan bahan-bahan obat alami masih menjadi pilihan bagi masyarakat adat. Selain itu, hasil penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa kearifan lokal masyarakat adat dalam memanfaatkan bahan-bahan dari alam tersebar merata di seluruh Indonesia.
Akan tetapi, patut disadari pula bahwa arus informasi dan modernisasi yang kian pesat berkembang dapat menjadi faktor utama penyebab hilang dan tererosinya kearifan lokal masyarakat adat (Windandri 2006; Setyowati dan Wardah 2007). Selain erosi pada tingkat kearifan lokal masyarakat adat, perhatian juga patut diberikan pada faktor tumbuhan obat yang terancam  keletariannya. Zuhud et al. (1994) mengidentifikasikan sedikitnya terdapat 6 faktor yang mengancam kelestarian tumbuhan obat dari hutan tropika, yaitu:
  1. Sebagian besar bahan baku obat tradisional berasal dari tumbuhan yang dipanen secara langsung dari alam/hutan secara besar-besaran. Hasil pemanenan dari usaha budidaya belum dapat mengimbangi pemanenan dari alam.
  2. Kerusakan habitat akibat: eksploitasi hutan (pembalakan), perambahan hutan, perladangan berpindah, penebangan liar, kegiatan eksploitasi barang tambang, pembukaan jalan, dan lain-lain.
  3. Konversi hutan menjadi lahan non-hutan.
  4. Eksploitasi hasil hutan kayu yang merupakan spesies pohon komersial, dimana spesies kayu komersial tersebut juga merupakan spesies tumbuhan obat.
  5. Kurangnya perhatian terhadap pembudidayaan.
  6. Tererosinya budaya dan pengetahuan tradisional dari penduduk lokal yang berdiam di dalam atau di sekitar hutan.
DAFTAR PUSTAKA
(Nurhayati 2006), (Arafah 2005), (Kartikawati 2004), (Inama 2008)  *belum di koreksi ulang lagi, nanti akan saya edit, mohon maaf.
Setyowati FM, Wardah. 2007. Keanekaragaman Tumbuhan Obat Masyarakat Talang Mamak di Sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Riau. Biodiversitas 8 (3) : 228-232.
Windadri FI, Rahayu M, Uji T, Rustiami H. 2006. Pemanfaatan Tumbuhan sebagai Bahan Obat oleh Masyarakat Lokal Suku Muna di Kecamatan Wakarumba, Kabupaten Muna, Sulawesi Utara. Biodiversitas 7 (4) : 333-339.
Zuhud EAM, Ekarelawan, Riswan S. 1994. Hutan Tropika Indonesia Sebagai Sumber Keanekaragaman Plasma Nutfah Tumbuhan Obat, dalam Zuhud EAM, Haryanto (editor). Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB dan Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN)
Zuhud EAM. 2008. Potensi Hutan Tropika Indonesia Sebagai Penyangga Bahan Obat Alam Untuk Kesehatan Bangsa. http://www.iwf.or.id/ Potensihutanobat.pdf.  [14 Oktober 2009]
»»  read more

Kemandirian Ekonomi untuk Kedaulatan Rakyat

Satu Abad Bung Hatta:
Kedaulatan Rakyat
Dasar Martabat Bangsa


Sri-Edi Swasono *)

Catatan Redaksi, artikel ini merupakan BAB 53 dari buku Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat (2002).
“Bagi kita, ra’jat itoe jang oetama, ra’jat oemoem jang mem¬poenjai kedaulatan, kekuasaan (Souvereinteit). Karena ra’jat itoe jantoeng-hati Bangsa. Dan ra’jat itoelah jang men¬djadi oekoeran tinggi rendah deradjat kita. Dengan ra’jat itoe kita akan naik dan dengan ra’jat kita akan toeroen. Hidoep atau matinya Indonesia Merdeka, semoeanja itoe bergan¬toeng ke¬pada semangat ra’jat. Pengandjoer-pengandjoer dan golong¬an kaoem terpeladjar baroe ada berarti, kalau dibela¬kangnja ada ra’jat jang sadar dan insjaf akan kedaulatan dirinja” (Bung Hatta, Daulat Ra’jat, 20 September 1931).
Menimba Pemikiran Bung Hatta
M
enimba pemikiran Mohammad Hatta di awal tulisan ini merupakan titik-tolak untuk meninjau relevansinya terhadap masa kini, meninjau kadar kekiniannya. Kehadiran Mohammad Hatta di dalam Perhimpunan Indonesia pada tahun 1921 (pada usia 19 tahun) tidak saja ikut memajukannya, tetapi juga memantapkan perhimpunan itu sebagai perhimpunan politik yang sangat berperan menentukan dalam perjuangan kemerdekaan nasional Indonesia. Perkembangan politik di Hindia Belanda mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda.
Pada tahun 1923, Perhimpunan Indonesia mengeluarkan pernyataan bahwa tiap-tiap orang Indonesia harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai maksud itu dengan kekuatan dan kemampuannya sendiri, terlepas dari bantuan orang lain.
Di dalam berbagai tulisannya, Mohammad Hatta menyatakan prinsip non-kooperatif yang dianut Perhimpunan Indonesia itulah yang telah ikut memasyhurkan perhimpunan ini di kalangan rakyat Indonesia, khususnya di antara para cendekiawan Indonesia. Mengutip pernyataan Mohammad Hatta tahun 1925:
“…Dengan memakai prinsip non-kooperatif, Perhimpunan Indonesia menghendaki suatu kebijaksanaan menyandarkan diri pada kekuatan sendiri, yaitu suatu kebijaksanaan berdiri di atas kaki sendiri. Perhimpunan ini akan mengumandangkan perasaan hormat pada diri sendiri ke dalam kalbu rakyat Indonesia. Sebab hanya suatu bangsa yang telah menyingkirkan perasaan tergantung saja yang tidak takut akan hari depan. Hanya suatu bangsa yang faham akan harga dirinya maka cakrawalanya akan terang-benderang. Perhimpunan Indonesia ingin mendidik bangsanya sendiri dan membuatnya kukuh kuat…”.1)
Selanjutnya dapat dikutipkan:
“… untuk dapat melaksanakan gerakan non-kooperatif di Indonesia, Perhimpunan Indonesia mene-kankan kepada anggota-anggotanya pada segala kesempatan, mereka harus bersiap diri menghadapi kesulitan-kesulitan politis dalam kehidupan masa depan mereka, seperti penahanan-penahanan, penjara, pembuangan, dan sebagainya…”. 2)
Lahirnya pernyataan asas-asas Perhimpunan Indonesia tahun 1925 disebutkan oleh Sartono Kartodirdjo, sebagai Manifesto Politik 1925. Perhimpunan Indonesia, yang telah dipersiapkan sejak tahun 1923 itu dengan Mohammad Hatta sebagai penggerak utamanya. Menurut ahli sejarah ini, Sumpah Pemuda 1928 merupakan pengumandangan (amplification) dimensi-dimensi Manifesto Politik 1925 ini.3)
Dari pernyataan Perhimpunan Indonesia tahun 1923 dan tahun 1925 itu, dapat ditarik hakikat Manifesto itu: (1) perjuangan memperoleh otonomi, mencapai kemerdekaan Indonesia; (2) pemerintahan yang dipegang dan dipilih oleh bangsa Indonesia sendiri; (3) kesatuan sebagai syarat perjuangan mencapai tujuan; dan (4) menolak bantuan dari pihak penjajah atau pihak lain manapun.4)
Dari tulisan monumental Mohammad Hatta Ke Arah Indonesia Merdeka (1932) mengenai faham kebangsaan dan kerakyatan, sekali lagi Mohammad Hatta menegaskan bahwa:
“…Asas Kerakyatan mengandung arti, bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala Hukum (Recht, peraturan-peraturan negeri) haruslah bersandar pada perasaan Keadilan dan Kebenaran yang hidup dalam hati rakyat yang banyak, dan aturan penghidupan haruslah sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia beralasan kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat inilah yang menjadi sendi pengakuan oleh segala jenis manusia yang beradap, bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri…”.5)
Kemudian Mohammad Hatta menegaskan pula:
“…Supaya tercapai suatu masyarakat yang berdasar Keadilan dan Kebenaran, haruslah rakyat insaf akan haknya dan harga dirinya. Kemudian haruslah ia berhak menentukan nasibnya sendiri dan perihal bagaimana ia mesti hidup dan bergaul. Pendeknya, cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun perekonomian negeri, semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat…”.6)
Menolak Subordinasi dan Humiliasi
Kemandirian telah menjadi tuntutan politis bagi Indonesia Merdeka. Kemandirian adalah bagian integral dari makna merdeka itu sendiri. Tidak ada kemerdekan yang genuine tanpa kemandirian. Apabila kemerdekaan memiliki suatu makna, adalah karena kemandirian mem-berikan martabat bagi bangsa yang memangku kemerdekaan itu. Martabat bangsa merdeka tidak tergantung pada bangsa lain, tidak berada dalam protektorat, tidak dalam posisi tersubordinasi. Kemandirian adalah martabat yang diraih sebagai hasil perjuangan berat menuntut onafhankelijkheid dari ketertaklukan, dari humiliasi dan dehumanisasi sosial-politik serta sosial-kultural. Mencapai kemandirian menjadi penegakan misi suci yang kodrati.
Kemerdekaan, kemandirian dan martabat suatu bangsa memperoleh hakikat rahmatan lil alamin yang hanya dapat dipahami oleh bangsa yang mampu mengenal harga diri dan percaya diri. Humanisme, humanisasi dan emansipasi diri semacam ini bersumber pada taukhid. Ketidakmandirian atau afhankelijkheid menya-lahi kodrat menjaga martabat dan harga diri sebagai khalifatullah.
Peradaban pasca Zaman Kegelapan mampu melahirkan dan sekaligus menghormati Magna Charta Libertatum yang dipancangkan di Abad Pertengahan (1215) sebagai awal semangat demokrasi dan partisipasi rakyat dalam pemerintahan dan kekuasaan negara, yang berkelanjutan dengan lahirnya Bill of Rights Britania (1689). Linier dengan ini kita mengenal pula dalam jajaran peradaban modern Declaration Des Droits De L’Homme Et Du Citoyen yang kemudian menjadi Pream-bul UUD Perancis 1791 (Mohammad Hatta telah mengulas declaration ini dengan tajam di Daulat Ra’jat 30 November 1931). Tentu declaration Perancis ini berpengaruh langsung terhadap lahirnya The Decla-ration of Independence Amerika Serikat yang awalnya dinyatakan oleh Thomas Jefferson, yang membuahkan dalil unalienable rights of life, liberty and the persuit of happeness, bahwa all men are created equal. Bagi Mohammad Hatta yang berjiwa pembebasan dan demokrasi, tidak sulit pula berdasarkan keyakinan yang sama untuk memanfaatkan doktrin Woodrow Wilson tentang the right of self-determination, yang kemudian masuk ke dalam Leage of Nations Covenant dan selanjutnya lebih terelaborasi dalam The United Nations Charter. Peradaban modern ini nampak pula ikut mewarnai titik-tolak perjuangan Mohammad Hatta.
Masa jajahan adalah masa subordinasi, diskriminasi dan humiliasi di segala bidang kehidupan. Mengakhiri masa jajahan adalah mengakhiri subordinasi dan diskriminasi– menegakkan emansipasi. Oleh karena itu untuk mengakhiri kejahatan sosial-politik, sosial-kultural dan sosial-ekonomi itu, tidak ada istilah “belum matang” untuk merdeka.
“… Merdeka tidak tergantung pada jumlah jiwa yang melek huruf, tetapi pertama-tama adalah soal adanya lembaga-lembaga demokrasi dan semangat kaum intelektualnya … Indonesia dapat memenuhi kedua syarat ini. Semboyan ‘tidak masak’ (untuk merdeka) adalah suatu khayalan Belanda untuk meni-nabobokan hati nuraninya yang gelisah dan menutupi keserakahannya … maka mungkin sekali ia akan bertanya, apakah sebab negara-negara seperti Liberia, Abessinia, Hejaz, Yemen dan lain-lain ‘masak’ untuk memerintah sendiri, padahal di bidang kebudayaan dan kecerdasan negara-negara itu jelas terbelakang dibandingkan dengan Indonesia? … Apa yang dilaku-an oleh Amerika untuk Filipina dalam waktu hanya 18 tahun, tidak dapat dicapai oleh Nederland setelah tiga abad …”. 7)
Selanjutnya Mohammad Hatta dengan tepatnya menyatakan bahwa mungkin karena negara-negara yang menjadi merdeka dan berdaulat itu gurun pasirnya tidak dapat menghasilkan minyak, tembakau ataupun gula dan seterusnya. Jelaslah bahwa “tidak masak” untuk memerintah sendiri adalah karena adanya kekayaan di bawah bumi dan produk-produk pertanian yang melimpah ruah.8)
Dengan demikian itu maka setelah Indonesia mencapai kemerdekaan dan berdaulat dalam politik, di bidang ekonomi Mohammad Hatta menegaskan perlunya terselenggara kemandirian ekonomi dengan cara segera merestruktur perekonomian Indonesia, merubah Indo-nesia dari posisi “export economie” di masa jajahan, yang menempatkan Hindia Belanda sebagai onderneming besar dan penyediaan buruh murah dengan cara-cara eksploitatif, menjadi perekonomian yang mengutamakan peningkatan tenaga beli rakyat dan menghidupkan tena-ga produktif rakyat berdasar kolektivisme, yang artinya “sama sejahtera”.9)
Relevansi Kewaspadaan Bung Hatta
Sistem dan praktek perekonomian zaman jajahan telah “memutar ujung menjadi pangkal”, membentuk ekonomi Hindia Belanda sebagai “export economie”, yang bertentangan dengan dasar perekonomian untuk mencukupi keperluan hidup rakyat. Menurut Mohammad Hatta ekspor adalah untuk membayar impor. Inilah tugas “merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional” untuk melepaskan ketergantungan ekonomi nasional terhadap ekonomi negara-negara industri pengimpor bahan mentah. Dari sini jelaslah bahwa Mohammad Hatta (dan juga Sukarno) tergolong tokoh-tokoh strukturalis paling awal di Abad ke-20.
Peringatan Mohammad Hatta agar tidak “me-mutar ujung menjadi pangkal” banyak dikumandangkan oleh Adi Sasono dan Sritua Arief menjadi platform Dekopin, dalam rangka mewujudkan semangat kemandirian di lingkungan ekonomi rakyat. Pernyataan Mohammad Hatta ini sekaligus merupakan kewaspadaan nya terhadap ancaman akan neo-kolonialisme dan kolonialisme ekonomi. Sritua Arief dalam berbagai bukunya mengenai kebijaksanaan ekonomi Indonesia mempertegasnya melalui analisis teoritis, yang didukung oleh kenyataan-kenyataan empirik berbagai negara berkembang, bahwa ekspor baru dapat berperan besar di dalam perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional setelah pasaran dalam negeri berkembang lebih dahulu. Dengan kata lain, ekspor merupakan konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi dalam-negeri, bukan sebaliknya. Mohammad Hatta mengantisipasikan sejak sebelum Indonesia merdeka, bahwa pada akhirnya, untuk situasi Indonesia, pertumbuhan ekspor tidak ada hubungannya dengan pertumbuhan kemakmuran rakyat, apalagi kalau sektor ekspor secara substansial dikuasai oleh pihak asing.10)
Dari hasil penelitian Singer (1982), Jung dan Marshall (1985) di negara-negara berkembang telah memberikan basis empirik terhadap antisipasi Mohammad Hatta sebagaimana yang dikutibkan oleh Sritua Arief.11) Pasaran dalam negerilah yang harus memperkukuh fondamental ekonomi Indonesia, yaitu fundamental ekonomi yang grassroots-based, yang berbasis pada kekuatan rakyat dalam negeri.
Mohammad Hatta tajam dalam melihat ke depan. Pandangannya yang berorientasi pada kekuatan pasar dalam negeri yang didukung oleh tenaga beli rakyat, tidak menjuruskannya terperosok ke dalam paham isolasionisme ekonomi. Ia bahkan telah meramalkan globalisme dan globalisasi masa depan. Ia tidak menolak interdependensi ekonomi internasional, yang ia tentang ada-lah dependensi ekonomi nasional Indonesia terhadap ekonomi internasional yang selalu diwaspadainya. Sejak awal kemerdekaan (Pidato Wakil Presiden 3 Februari 1946) Mohammad Hatta menegaskan ulang bahwa pembangunan perekonomian Indonesia yang kita hadapi adalah (1) Soal ideologi: Bagaimana mengadakan susunan ekonomi yang sesuai dengan cita-cita tolong-menolong. (2) Soal praktik: Politik perekonomian apakah yang praktis dan perlu dijalankan dengan segera di masa datang ini. (3) Soal koordinasi: Bagaimana mengatur pembangunan perekonomian Indonesia supaya pembangunan itu sejalan dan bersambung dengan pembangunan di seluruh dunia. (Butir terakhir ini menunjukkan bahwa globalisasi telah sejak awal kemerdekaan diantisipasi oleh Mohammad Hatta, sejalan dengan tulisan-tulisannya sejak tahun 1934).12)
Bagi Mohammad Hatta, kemandirian bukan pengucilan diri, kemandirian bisa dalam ujud dinamiknya, yaitu interdependensi. Dalam interdependensi global dan ekonomi terbuka Mohammad Hatta tetap teguh mempertahankan prinsip independensi, yaitu bahwa dengan memberikan kesempatan pada bangsa asing mena-nam modalnya di Indonesia, namun kita sendirilah yang harus tetap menentukan syarat-syaratnya. Sikap Mohammad Hatta ini acapkali diungkapkan oleh Soebadio Sastrosatomo, Sritua Arief dan Frans Seda dalam acara-acara peringatan rutin 12 Juli ataupun 12 Agustus. Ke-mandirian bermakna dapat menentukan nasib diri sen-diri, menentukan sendiri apa yang terbaik bagi kepen-tingan nasional, tanpa mengabaikan tanggung jawab global.
Pendirian “Benteng Group” pada tahun 1950-an merupakan tujuan mulia untuk memandirikan dan memajukan perekonomian kelompok anak-negeri. Sayang sekali kepentingan partai sempat menumbuhkan nepotisme sempit yang merusak seleksi dan rekrutmen. Yang terbentuk adalah pengusaha-pengusaha “jago kandang” yang dengan mudah melepaskan kesempatan emas untuk “menjadi tuan di negeri sendiri” kepada kaum non-pribumi yang sudah lama siap menunggu. Maka jadilah pengusaha-pengusaha “Benteng Group” akibatnya pengusaha-pengusaha “aktentas” yang “Ali-Baba”.
Akhirnya pengalaman dalam bisnis-ekonomi se-bagai modal usaha, berpindah tangan. Mereka yang meraih pengalaman ini muncul menjadi komunitas eksklusif yang sangat mapan dan tangguh. Pemerintah tidak bisa lagi mengabaikannya sebagai kekuatan na-sional baru dan tidak pula bisa menolak keberadaannya. Di sinilah awal dari babakan baru, “bulan madu” antara Pemerintah dan swasta kuat. Lambat laun fenomena ini berkembang menjadi suatu kolaborasi kolusif, yang makin menonjol pada awal tahun 1980-an, sebagai awal dari apa yang saat ini kita kenal dengan KKN.
Lebih dari itu, mentalitas dan moralitas birokrasi makin terjebak dalam komersialisasi jabatan sebagai abdi negara. Birokrasi makin “lengah-misi” dan rela kehi-langan harga diri. Lebih dari itu terbentuk pula keka-guman terhadap sekelompok pengusaha eksklusif ini. Lalu birokrasi memberikan kepada mereka posisi strategis sebagai lokomotif pembangunan. Kekaguman birokrasi terhadap ideologi pasar bebas dan globalisasi pun makin sulit dibendung dan ini menambah persoalan. Birokrasi yang bertingkahlaku budaya sebagai “pangreh” ini makin memperpuruk diri. Dari “lengah-misi” itulah bertumbuh sindroma “lengah-budaya”.13)
Pola Produksi dan Tugas Restrukturisasi
Birokrasi yang lengah-budaya ini besar pengaruhnya dalam kehidupan ekonomi. Mewujudkan cita-cita kemandirian ekonomi, “membalik pangkal menjadi ujung kembali”, secara struktural merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional14), artinya dengan secara sadar membentuk pola produksi nasional (pattern of product-ion) yang berbasis sumber daya dalam negeri sendiri, sama sekali terabaikan. Sektor manufacturing tanpa banyak diketahui tahu-tahu sudah makin tergantung pada luar-negeri, menjadi import dependent. Industri Indone-sia yang makin besar porsinya dalam GDP makin menja-di kepanjangan tangan dari industri luar negeri. Tingginya import contents (foreign contents) di dalam produk-produk manufaktur lebih merupakan ujud dependensi daripada ujud interdependensi dalam perdagangan luar negeri Indonesia.
Tingginya import contents dalam produk-produk manufaktur kita, bukan saja karena kita tidak membangun ekonomi sesuai dengan kekayaan alam kita (resources-based), tetapi adalah pula pengaruh dari para juragan “import-business” yang mempunyai kepentingan ekonomis secara mikro, yang acapkali bertentangan dengan upaya restrukturisasi ekonomi makro. Di berbagai tulisan, penulis telah membeberkan tentang peran sekelompok importir dan birokrat sebagai komprador asing, yang sadar atau tidak sadar mendistorsi usaha-usaha restrukturisasi ekonomi secara makro. Namun tidak mustahil bahwa ide restrukturisasi memang tidak dikenal atau tidak merupakan suatu political will yang nyata dari birokrasi (dan teknokrat) kita.
Tentu demikian pula, sama lengahnya kita dalam membentuk pola konsumsi nasional. Konsumsi masyarakat makin terdikte untuk mengkonsumsi barang dan jasa yang padat import-contents, yang tentunya atas beban ekonomi nasional. Import-mindedness merajalela, demonstration effect yang konsumtif makin menjadi-jadi berkat hebatnya perang pasar dan periklanan canggih. Besarnya ketergantungan sektor manufaktur terhadap import-contents merupakan salah satu penyebab utama mengapa krisis moneter dengan hebatnya menerpurukkan perekonomian nasional, khusus perekonomian besar dengan segala dampak berentengnya itu. Kita menjadi kepanjangan tangan.
Oleh karena itu, kita tetap harus dapat dengan cermat membedakan antara upaya economic recovery (a la IMF dan kaum neo-klasikal) dengan reformatory economic recovery (makro) yang mengandung tujuan restrukturisasi ekonomi, yaitu mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural.
Keterjebakan Hutang dan Dependensi Indonesia.15)
Penguasaan surplus ekonomi oleh pihak asing dan kompradornya di Indonesia terhadap strata bawah dalam struktur sosial dan konstelasi ekonomi, bukanlah sesuatu yang mengada-ada.
“Kolonialisme baru” yang bertopeng globalisasi dan globalisme dengan turbo-kapitalis asing sebagai aktor utama merupakan suatu living reality. Ini terjadi melalui proses pengembangan industri, baik industri substitusi impor maupun industri promosi ekspor. Indonesia kembali menjadi tempat yang empuk bagi peng-hisapan surplus ekonomi oleh pihak asing. Pasar bebas menjadi berhala baru yang secara absurd dianggap sebagai pendekar omniscient dan omnipotent, padahal pasar-bebas hanyalah sekedar instrumen ekonomi kaum globalis untuk memanfaatkan kelemahan struktural dalam perekonomian negara-negara berkembang.
Penghisapan surplus ekonomi oleh pihak asing dapat ditunjukkan dengan angka-angka berikut ini: Data neraca pembayaran menunjukkan bahwa selama periode 1973–1990 nilai kumulatif arus masuk investasi asing sebesar US$ 5,775 juta telah diiringi dengan nilai kumulatif keuntungan investasi asing yang direpatriasi ke luar negeri sebesar US$ 58,839 juta (IMF, Balance of Payments Year Book, berbagai tahun). Ini berarti setiap US$ 1 investasi asing yang masuk telah diikuti dengan US$ 10.19 financial resources yang keluar (Sritua Arief, 1993). Kendatipun perbandingan antara penanaman investasi asing langsung dengan keuntungan yang diangkut dari Indonesia sedikit menurun sesudah tahun 1990, akan tetapi ini telah diikuti dengan meningkatnya investasi portfolio sehingga repatriasi keuntungan pihak asing yang diangkut dari Indonesia tetap menjadi penyebab utama defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran. Misalnya investasi asing langsung pada tahun 1994/95, 1995/96 dan 1996/97 adalah masing-masing besarnya US$ 2.6 miliar, US$ 5.4 miliar dan US$ 6.5 miliar. Sedangkan investasi portfolio pada tahun-tahun ini adalah US$ 2.3 miliar, US$ 3.3 miliar dan US$ 3.1 miliar. Investasi portfolio menimbulkan makin intensifnya keterlibatan pihak asing dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi di Indonesia.
Seperti telah dinyatakan di atas, keuntungan investasi asing yang direpatriasi adalah penyebab utama defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran. Data menunjukkan bahwa selama periode 1978/79–1995/96 nilai kumulatif defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran ini adalah sebesar US$ 43.4 miliar. Nilai ini telah bertambah dalam periode 1978/79 – 1998/99 menjadi US$ 58.4 miliar. Jadi bertambah sebesar US$ 15 miliar. Perlu dinyatakan di sini bahwa defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran Indonesia diukur dalam persentase dari Produk Domestik Bruto (PDB) telah bertambah besar dari –1,6% pada tahun 1995/96 menjadi –2,7% pada tahun 1998/99.
Selama periode 1970–1980 telah diperkirakan adanya pelarian modal sebesar US$ 9.4 miliar, selama periode 1988–1991 pelarian modal telah ditaksir sebesar US$ 11.17 miliar dan selama periode 1996–1997 pelarian modal telah diperkirakan sebesar US$ 11.7 miliar (Mubarik Ahmad, 1993 dan Sritua Arief, 1997). Telah dilaporkan bahwa sejak Juli 1997 (pada waktu krisis moneter berlangsung) hingga sekarang sebanyak kira-kira US$ 80 miliar devisa telah dilarikan ke luar negeri.
Hutang luar negeri Indonesia tetap terus bertambah dari tahun ke tahun. Sampai akhir tahun 1998 utang luar negeri (pemerintah dan swasta) bernilai sebesar US$ 130 miliar yang merupakan 162,7% dari Produk Domestik Bruto Indonesia. Pada pertengahan tahun 1999, nilai utang luar negeri ini bertambah menjadi US$ 146 miliar sedangkan Produk Domestik Bruto Indonesia menurun. Ini artinya dalam presentase dari Produk Domestik Bruto, utang luar negeri bertambah. Apa maknanya ini? Maknanya adalah pendapatan per kapita rakyat Indonesia (tidak termasuk para “penyamun” ekonomi) sebagai penanggung beban utang ini sudah berada di bawah nilai utang ini.
Perlunya kewaspadaan terhadap utang luar negeri telah banyak dikemukakan. Pinjaman luar negeri meningkatkan intervensi-intervensi negara-negara donor maupun negara-negara penerima bantuan, yang merusak prinsip-prinsip ekonomi, dengan mengabaikan keunggulan-keunggulan komparatif di negara-negara penerima bantuan. Pinjaman luar negeri tidak terlepas dari “skenario Barat” untuk mempertahankan negara-negara terbelakang tetap dalam posisi “status-quo in dependency”.
Selama periode 1980–1993, sektor Pemerintah di Indonesia telah melakukan pembayaran cicilan utang luar negeri sebesar US$ 41.4 miliar. Sementara itu, selama periode yang sama, sektor Pemerintah telah menambah utang luar negerinya sebesar US$ 69.4 miliar (laporan Bank Dunia tahun 1994). Dilaporkan bahwa sampai April 1999, utang luar negeri sektor Pemerintah telah meningkat menjadi US$ 77.7 miliar. Ini secara implisit mengandung pengertian yang disebutkan di atas yaitu makin banyak cicilan utang luar negeri makin besar nilai utang luar negeri yang menumpuk. Nilai net transfer ke luar negeri yang dilakukan sektor Pemerintah selama periode 1985–1993 misalnya adalah sebesar US$ 7.8 miliar dan selama periode 1994–1998 diperkirakan sebesar US$ 19 miliar (World Bank, 1994 dan World Bank, 1997).
Ada beberapa butir lagi yang perlu dikemukakan di sini berkaitan dengan utang luar negeri, sebagai berikut: Dalam pengertian dialektik hubungan ekonomi antaraktor ekonomi, pemasok utang luar negeri dan investor asing menjadi lebih berkuasa dalam memeras rakyat Indonesia, terutama yang berada di strata bawah dalam masyarakat Indonesia. Jelas ini menunjukkan bahwa Indonesia dan rakyatnya akan kembali menjadi koloni asing. Dan utang luar negeri yang menumpuk telah berubah sifatnya dari perangkap menjadi bumerang. Bumerang dalam pengertian mempermiskin Indo-nesia dan rakyatnya.
Baiklah di sini dikemukakan garis-garis besar implikasi kebijaksanaan penemuan yang dikemukakan di atas. Pertama, pembayaran utang luar negeri pemerintah harus dimintakan untuk diperingan atau dikurangi secara drastis diikuti dengan penjadualan pembayaran sisanya. Ini harus dilakukan agar pengeluaran pemerintah dimungkinkan untuk mendukung bidang-bidang pemberdayaan ekonomi rakyat. Jan Tinbergen telah pula menegaskan (1991) bahwa utang negara-negara terbe-lakang yang mencapai US$ 1 triliun (seluruh GDP mereka hanya US$ 3 triliun) harus diselesaikan dengan menyisihkan minimal 0,7% GDP negara-negara donor, atau samasekali menyelesaikannya sekali saja dengan menyisihkan 2% GDP negara-negara donor dalam teng-gang waktu tertentu. Ini demi kepentingan negara-negara donor sendiri. Kedua, menolak penggunaan dana negara atau dana masyarakat untuk membayar utang-utang perusahaan-perusahaan swasta. Untuk mencegah jatuhnya perusahaan-perusahaan swasta ini ke pihak asing, maka Indonesia sebagai negara berdaulat harus dapat membuat peraturan-peraturan yang restriktif. Apalagi dipercayai bahwa banyak dari utang-utang ini dijamin oleh dana-dana yang diparkir di luar negeri. Ketiga, meninjau kembali sistem pembiayaan pembangunan sehingga ketergantungan kepada pihak asing dimini-mumkan. Dalam hal ini bentuk pinjaman dan besar pinjaman dari pihak asing hendaklah kita tentukan sedemikian rupa sehingga kita tidak dikelabui.
Dengan demikian pembangunan nasional akan lebih merupakan pembangunan Indonesia, bukan sekedar pembangunan di Indonesia. Permintaan efektif atau daya-beli rakyat di dalam negeri harus menjadi dasar pertumbuhan ekonomi. Ini bermakna bahwa strategi pembangunan pertumbuhan melalui pemerataan atau pertumbuhan dengan pemerataan yang berorientasi ke dalam negeri. Bung Hatta memberikan patokan-patokan bagi utang luar negeri (Tracee Baru, Universitas Indonesia, 1967), yaitu bahwa setiap utang luar negeri harus secara langsung dikaitkan dengan semangat meningkatkan self-help dan self-reliance, di samping bunga harus rendah, untuk menumbuhkan aktivita ekonomi sendiri. Bantuan luar negeri harus mampu membuat kita bergerak sendiri atas kekuatan sendiri, serta bersifat komplementer16), jadi bersifat sementara dan pelengkap. Tidak pula atas syarat politik sebagai langkah kembalinya neo-kolonialisme dan kolonialisme ekonomi.17)
Siapa yang Berdaulat, Pasar atau Rakyat?
Banyak orang mengatasnamakan rakyat. Ada yang melakukannya secara benar demi kepentingan rak-yat semata, tetapi ada pula yang melakukannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Yang terakhir ini tentulah merupakan tindakan yang tidak terpuji. Namun yang lebih berbahaya dari itu adalah bahwa banyak di antara mereka, baik yang menuding ataupun yang ditu-ding dalam mengatasnamakan rakyat, adalah bahwa me-reka kurang sepenuhnya memahami arti dan makna rakyat serta dimensi yang melingkupinya.18)
Seperti dikemukakan (di catatan kaki 18), kerak-yatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan penting-nya pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak, yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi berlaku demokrasi ekonomi yang tidak menghendaki “otokrasi ekonomi”, sebagaimana pula demokrasi politik menolak “otokrasi politik”.
Dari pengertian mengenai demokrasi ekonomi seperti dikemukakan di atas, maka kita membedakan antara private interests dengan public interest. Dari sini perlu kita mengingatkan agar tidak mudah menggunakan istilah “privatisasi” dalam menjuali BUMN. BUMN sarat dengan makna kerakyatan dan bersifat publik. BUMN adalah untuk menjaga hajat hidup orang banyak. Yang kita tuju bukanlah “privatisasi” tetapi adalah “go-public”, di mana pemilikan BUMN meliputi masyarakat luas yang lebih menjamin arti “usaha bersama” berdasar atas “asas kekeluargaan”. Go-public haruslah diatur (managed) un-tuk menjamin partisipasi nyata rakyat luas dalam kepemilikan aset nasional.
Kesalahan utama kita dewasa ini terletak pada sikap Indonesia yang kelewat mengagumi pasar bebas. Kita telah menobatkan pasar bebas sebagai “berdaulat”, mengganti dan menggeser kedaulatan rakyat. Kita telah menjadikan pasar sebagai “berhala” baru.
Kita boleh heran akan kekaguman ini, mengapa dikatakan Kabinet harus ramah terhadap pasar, mengapa kriteria menjadi menteri ekonomi harus orang yang bersahabat kepada pasar. Bahkan sekelompok ekonom tertentu mengharapkan Presiden Megawati pun harus ramah terhadap pasar. Mengapa kita harus keliru sejauh ini.
Mengapa tidak sebaliknya bahwa pasarlah yang harus bersahabat kepada rakyat, petani, nelayan, dst.19)
Siapakah sebenarnya pasar itu? Bukankah saat ini di Indonesia pasar adalah sekedar (1) kelompok penyandang/penguasa dana (termasuk para penerima titipan dana dari luar negeri/komprador, para pelaku KKN, tak terkecuali para penyamun BLBI, dst); (2) para penguasa stok barang (termasuk para penimbun dan pengijon); (3) para spekulan (baik di pasar umum dan pasar modal); dan (4) terakhir adalah rakyat awam yang tenagabelinya lemah. Jadi pada hakekatnya yang demikian itu ramah kepada pasar adalah ramah kepada ketiga kelompok pertama sebagai pelaku utama dan penentu pasar.
Oleh karena itu pasar harus tetap dapat ter-kontrol, terkendali, pasar bukan tempat kita tergantung sepenuhnya, tetapi sebaliknya pasarlah, sebagai “alat” ekonomi, yang harus mengabdi kepada negara. Adalah kekeliruan besar menganggap pasar sebagai “omniscient” dan “omnipotent” sehingga mampu mendobrak ketimpangan struktural. Adalah naif menganggap “pasar bebas” adalah riil. Yang lebih riil sebagai kenyataan adalah embargo, proteksi terselubung, unfair competition, monopoli terselubung (copyrights, patents, intellectual property rights) dan tak terkecuali embargo dan eco-nomic sanctions sebagai kepentingan politik yang mendominasi dan mendistorsi pasar.

Pasar dan IMF Berhala Baru yang Dipuja
Apabila pasar tidak dikontrol oleh negara, apabila pasar kita biarkan bebas sehingga pasar bebas kita jadi-kan “berhala” dan kita nobatkan sebagai kaisar berdaulat, maka berarti kita membiarkan pasar menggusur kedaulatan rakyat. Padahal menegaskan bahwa rakyatlah yang berdaulat, bukan pasar.20)
Tidak saja pasar-bebas yang telah menjadi berhala yang dipuja, IMF pun menjadi sesembahan baru pula, menjadi tuhan baru. Kita tunduk, kita mengagumi, kita tersubordinasi dan kita rela menjadi jongosnya. Kita merebut kemerdekaan tahun 1945. Lima tahun kemudian kita mampu menekan penjajah dan memperoleh pengakuan/penyerahan kedaulatan melalui KMB. Kita merdeka penuh, berdaulat dalam politik, baik secara de facto maupun de jure.
Kini, tahu-tahu saja kita secara de facto telah tersubordinasi, terdikte, tunduk dan takut kita kehilangan kedaulatan itu. “Kedaulatan politik” kita ibarat menjadi formalitas, tanpa sukma merdeka. Belum lagi dua pasangannya dalam Trisakti, “mandiri dalam ekonomi” dan “berkepribadian dalam budaya”, ternyata luntur pula.21)
Pemerintah saat ini tidak memiliki keberanian untuk mengatakan kepada IMF dan Bank Dunia bahwa kedua lembaga dunia ini ikut bertanggung jawab terhadap keterpurukan ekonomi Indonesia, ikut menjerumuskan Indonesaia dengan orthodoxy dan salah antisipasinya membaca gejala ekonomi. Ini perlu menjadi suatu justifi-kasi untuk meminta pembebasan utang, pemotongan utang ataupun penjadualan utang tanpa beban. Kita ingat Wolfensohn tanpa malu mengakui bahwa ia kelewat optimis dalam mendorong investasi asing dan pengucuran kredit untuk Indonesia. IMF dan Bank Dunia bahkan ikut tenggelam dalam over optimism (baca: salah perhitungan) tentang Indonesia yang digolongkan seba-gai masuk calon “Asian Miracle” dan “Asian Dragon”. Indonesia terjebak, mereka cuci tangan bersama para komprador mereka.
“Skenario” mensubordinasi ekonomi Indonesia berjalan terus. Muncul cara-cara kotor untuk beramai-ramai menolak L/C Indonesia. Sekarang Indonesia, negara terbesar di Asia Tenggara, terpaksa “diampu” (dianggap secara ekonomi “onbekwaam” oleh Singapura). Penulis memberi reaksi keras di media massa.22)
Penulis sempat berpikir, adakah ini kelanjutan dari ditolak dan diremehkannya permintaan keringanan hukuman gantung bagi marinir kita, Harun dan Usman, kepada Pemerintah Singapura, yang mengakibatkan Mohammad Hatta “bersumpah” untuk tidak lagi mengin-jakkan kaki di Singapura untuk seumur hidupnya? Yang dilakukan Mohammad Hatta ini lebih dan sekedar demi alasan kemanusiaan sesuai peradaban yang berlaku, tetapi adalah tawaran good neighbour policy untuk saling hormat-menghormati. Ternyata kita memilih memperpurukkan martabat dan harga diri kita, ketika tawaran Singapura mengampu L/C Indonesia dengan begitu saja kita terima, tanpa menanyakan lebih dahulu ikhwal dana besar Indonesia yang bersuaka di Singapura sebagai capital flights. Terjadinya capital flights ini tidak terlepas dari tanggung jawab Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, yang tanpa kewaspadaan teknis-ekonomis lebih mempertuhankan pasar bebas (rezim devisa bebas) daripada mengutamakan kepentingan nasional, baik setelah melikuidasi 16 bank maupun periode-periode sesudahnya.
Kita pun “tidak berkutik” tatkala dituduh Singapura sebagai sarang teroris baru-baru ini. Singapura telah menteror Indonesia yang sedang dirundung kemalangan untuk menegakkan kredibilitas pemerintahan dan negara. Kita pun diam, tertegun, alpa harga diri dan martabat bangsa. Kita lebih mampu melihat ketergantungan kita terhadap Singapura, bukan sebaliknya. Yang jelas Singapura telah memanfaatkan situasi internasional dengan baik, dengan tuduhannya itu maka Singapura memperoleh simpati dari Amerika Serikat, yang membuka jalan bagi Singapura untuk dipercaya Amerika Serikat untuk mengawasi “terorisme” di Indonesia.
Perkembangan terakhir mengenai independensi Indonesia dalam menyelenggarakan kedaulatan negara lebih mencemaskan lagi.23)
Inilah inferiority complex dari pejabat inlander kita. Bagi pejabat-pejabat negara di atas, “atasan” mereka adalah asing atau IMF, bukan lagi rakyat, bahkan bukan Kepala Negara sendiri. Pemerintahan kita sudah jadi “pemerintahan boneka”.
Masa Depan: Reformasi Pemikiran Ekonomi
Rudyard Kipling24) pernah mengatakan “East is East, West is West, the twins shall never meet”. Andai saat ini ia masih hidup, ia akan melihat dunia telah dibelah secara lain, dapat diperkirakan ia akan mengatakan pula North is North, South is South, the twins shall hardly meet.25)
Kita mudah kagum kepada yang serba Barat. Kita kelewat soft terhadap Barat. Maka itu Presiden Sukarno berulang kali pesankan agar kita membersihkan diri dari hollands denken. Artinya kita harus mampu melakukan unlearning (afleren) di samping juga learning (aan-leren) untuk memperkukuh dan mengembangkan kepribadian serta budaya Indonesia. Demikian pulalah seharusnya sikap kita dalam menghadapi dikotomi baru Utara-Selatan, kita mestinya tidak hanya mampu “berantisipasi” lalu terbawa arus trend globalisasi Barat, tetapi harus mampu pula ikut proaktif “mengukir sejarah” masa depan dalam percaturan ekonomi dunia.
Memprihatinkan sekali bahwa kita menyongsong sistem ekonomi pasar bebas lebih berapi-api daripada orang-orang Utara. Kita praktekkan liberalisme dan kapitalisme di sini lebih hebat daripada di negara-negara Utara. Kita bahkan menjadi juru bicara sistem ekonomi pasar bebas untuk kepentingan mereka.
Ketika kesepakatan GATT belum kita ratifikasi, kita pun telah tunduk melatih diri, ibarat “belum ditanya sudah mau”, kita “menari atas kendang orang lain” dengan mudahnya. Tidak hanya gampang kagum atau soft, barangkali juga malah servile, tetapi mengaku friendly atau low-profile.
Tidak ada yang dapat mengabaikan peranan pasar. Kita pun memelihara ekonomi pasar. Yang kita tolak adalah pasar bebas. Pasar-bebas adalah imaginer, yang hanya ada dalam buku teks, berdasar asumsi berlaku sepenuhnya persaingan bebas. Dalam realitas, tidak ada persaingan bebas sepenuhnya, kepentingan non-ekonomi, khususnya kepentingan politik (lokal atau global), telah mendistorsi dan menghalangi terjadinya persaingan bebas (embargo, economic sactions, disguised protec-tions, strict patents and copy rights,dll). Tanpa persaingan bebas, sebagaimana dalam kenyataannya, tidak akan ada pasar bebas yang sebenarnya. Maka Adam Smith boleh terperanjat bahwa the invisble hand has turned into a dirty hand.
Pasar bebas akan menggagalkan cita-cita menca-pai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasar bebas dapat mengganjal cita-cita Proklamasi Kemerdekaan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, pasar bebas memarginalisasi yang lemah dan miskin.
Pasar bebas bahkan diskriminatif terhadap yang rendah produktivitasnya (tidak efisien), akibatnya tidak mudah memperoleh alokasi kredit yang berdasar profit-ability itu. Pasar bebas jelas merintangi hak demokrasi ekonomi rakyat, yang miskin tanpa daya beli akan hanya menjadi penonton belaka, berada di luar pagar-pagar transaksi ekonomi. Pasar bebas melahirkan privatisasi yang melepaskan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak ke tangan individu-individu. Pasar-bebas mencari keuntungan ekonomi bagi orang-seorang, bukan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Pasar-bebas menggeser dan bahkan menggusur rakyat dari tanah dan usaha-usaha ekonominya. Pasar-bebas, yang terbukti tidak omniscient dan omnipotent, tidak mampu mengatasi bahkan memperkukuh ketimpangan struktural, lantas mendorong terbentuknya polarisasi sosial-ekonomi, memperenggang integrasi sosial dan persatuan nasional. Pasar bebas memelihara sistem ekonomi subordinasi yang eksploitatif, non-partisipatif dan non-emansipatif, atas kerugian yang lemah. Kemudian pasar-bebas mengacau pikiran kita, melumpuhkan misi-misi mulia dan mendorong lidah kita bicara palsu: anti subsidi dan anti proteksi secara membabi-buta, demi efisiensi. Pasar-bebas mereduksi manusia sebagai sumber daya insani menjadi sumber daya manusia atau faktor produksi ekonomi belaka. Dengan pasar-bebas maka people empowerment kelewat sering berubah menjadi people disempowerment.
Pemujaan dan penyandaran (reliance) pada pasar bebas merupakan ujud dari parsialitas emikiran ekonomi (mainstream) yang hanya mampu mengakui persaingan (competition) dan inisiatif individual sebagai penggerak kemajuan ekonomi global, mengabaikan kerjasama (cooperation) sebagai penggerak kekuatan ekonomi berdasar mutualitas antarindividu yang tak kalah handalnya.
Dalam pemikiran ekonomi yang menganut pasar bebas, efisiensi tak lain merupakan suatu “keterpaksaan ekonomi” untuk bertahan hidup dan meraih keuntungan ekonomi (lebih berdasar zero-sum daripada non-zero-sum), yang harus dicapai melalui bersaing. Sedang di dalam pemikiran ekonomi yang mengakui kerjasama mutualitas sebagai kekuatan ekonomi, maka efisiensi meru-pakan “kewajiban hidup berekonomi”. Ekonomi per-saingan berjangkauan kepentingan parsial (nilai-tambah ekonomi), sedang ekonomi kerjasama berjangkauan ke-pentingan multi-parsial yang lebih lengkap dan menyeluruh (mencakup nilai-tambah ekonomi dan nilai-tambah sosial-kultural sekaligus).
Globalisasi dan pasar bebas memang diimaginasikan sebagai upaya meningkatkan efisiensi global. Saat ini imaginasi itu ditumpukan kepada organisasi dunia WTO, pengganti GATT, yang mematok pakem-pakem ekonomi pasar untuk mencapai efisiensi global. Kenyataan yang ada membuat banyak di antara kita harus bersikap menolak dan reaksioner. Tentulah dalam prakteknya yang lemah harus membiaya efisiensi dunia demi kesejahteraan si kuat. Selatan membiayai efisiensi global demi keuntungan dan kemajuan Utara.26) Oleh karena itu pasar harus di-managed, dikendalikan, agar ramah terhadap rakyat dan kepentingan nasional.
Yang dikemukakan di atas bukanlah suatu ekstrimitas, tetapi merupakan suatu upaya menunjukkan polarisasi dikotomis untuk mempertajam pembandingan analitikal.
Globalisasi mulai banyak dikecam, karena menyandang adu kekuatan dan peragaan dominasi ekonomi, tak terkecuali oleh orang-orang Barat sendiri yang peduli akan pentingnya mewujudkan keadilan global. Tak terkecuali kecaman terhadap ketidakadilan ini datang dari kalangan akademisi Barat, NGO’s, mantan praktisi Bank Dunia dan IMF, pemenang hadiah Nobel Ekonomi (Joseph Stiglitz). Bahkan telah lahir buku tentang perlunya mewujudkan keadilan ekonomi global sebagai tantangan abad ke-21.27)
Dalam WTO kita harus tetap reaksioner, berani merevisi dan membuat kesepakatan-kesepakatan baru yang tidak merugikan kepentingan nasional dengan tetap menghormati tanggung jawab global kita. Sekalipun sebagai ahli ekonomi kita harus mampu menghayati realita yang ditegaskan oleh ekonom terkemuka Inggris, Joan Robinson, bahwa “the very nature of economics is rooted in nationalism”. Artinya pengembangan pemikiran ekonomi nasional dalam konteks global pun, perlu mengacu kepada histori, ideologi, institusi dan aspirasi nasional, yang selanjutnya harus memberi warna terhadap theory building and modeling; menolak paham neutrality of theory. Henry Kissinger pun telah menegaskan bahwa “Globalisasi adalah nama lain untuk dominasi Amerika Serikat” (Trinity College, 1998).
Di antara perubahan-perubahan global dalam titian perjalanan peradaban bangsa-bangsa, masalah kemandirian bangsa, atau kemandirian kelompok masya-rakat, bahkan kemandirian diri, selalu terlekat pada nilai-nilai peradaban yang “abadi”, yaitu harga diri dan jati diri (sunatullah). Nasionalisme kebangsaan, bahkan persekelompokan parokhial atau eksklusif lainnya, menyandang nilai-nilai “abadi” ini.28)
Paham kemandirian, sebagai lawan dari ketergantungan, menerima paham interdependensi. Kemandirian memang bukan eksklusivisme, isolasionisme atau parochialisme sempit. Kerjasama antarummat manusia menjadi nilai baru yang menjadi tuntunan pemikiran baru untuk menandingi dan mengimbangi kerakusan dominasi, penaklukan dan eksploitasi antarbangsa dan manusia.
Munculnya lembaga-lembaga kerjasama modern seperti Leage of Nations dan United Nations, berikut derivat-derivatnya, merupakan reaksi terhadap puncak persaingan destruktif dari dua Perang Dunia. Kerjasama global dan kesadaran global menggerakkan kembali dunia yang hancur oleh Perang Dunia itu. Saat ini kesadaran global itu memunculkan berbagai global common interests seperti social development, eradication of poverty, employment creation, strengthening solidarity and social integration, protection of environtment dll, bahkan sampai pada penangkalan bersama terhadap pelanggaran human rights dan terrorism dalam berbagai dimensinya (sebagaimana yang terpaku dalam berbagai konvensi dan keputusan PBB). Tanggung jawab ini harus secara bersama-sama digalang oleh seluruh negara di dunia.
Kerjasama dan kesadaran global ini harus dapat kita manfaatkan untuk melindungi kepentingan nasional kita. Akibat-akibat sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-kultural yang diakibatkan oleh persaingan bebas dan pasar bebas seperti digambarkan di atas, jelaslah banyak bertentangan dengan global interests di atas.
Globalisasi dan ujud globalisme masih dalam proses mencari bentuknya. Dalam masa transisi ini yang menonjol adalah dominasi ekonomi (baik eksklusif ekonomi maupun kelanjutannya berupa dominasi politik dan kultural) harus kita hadapi melalui tiga fronts: Pertama, melalui usaha sendiri masing-masing negara untuk bebenah diri meningkatkan kemampuan domestik dan kinerja nasionalnya, antara lain melalui rencana dan tindakan-tindakan terfokus untuk secara lebih langsung untuk membentuk konsolidasi ekonomi nasional dan mengurangi ketergantungan pada luar negeri. Kedua, menggalang kerjasama regional, diawali dengan kerja-sama ekonomi dan kemandirian ASEAN, disertai dengan upaya mengembalikan posisi Indonesia sebagai the leader of ASEAN, dengan segala justifikasi yang relevan dan inheren di dalamnya. Kalau perlu kita memimpin untuk bersama-sama mendirikan “ASEAN IMF” sendiri, dan seterusnya. Ketiga, bekerjasama dan meningkatkan keterlibatan Indonesia terhadap perkembangan pemikiran di fora internasional yang menentang ketidakadilan inheren dari globalisasi, yang menyadari perlunya ber-bagai koreksi terhadap proses perkembangan globalisasi yang menyudutkan negara-negara berkembang, yang dikatakan telah mengakibatkan the gap between the have and the have-nots makin melebar. Di sinilah kita harus mewaspadai globalisasi.
Seperti dikemukakan di atas, semangat kemandirian merupakan kekuatan nasional utama untuk mewujudkan kemerdekaan yang sebenarnya, kesejahteraan sosial dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penutup
Reformasi dalam konteks kenegaraan tidak saja berarti pembaharuan menuju Indonesia maju dan terbentuknya civil society, tetapi juga mengandung arti back to basics, kembali ke rel sesuai dengan cita-cita Kemerdekaan Indonesia. Untuk itu reformasi perlu diselenggarakan berdasar platforms nasional yang tegas sebagai landasan berpijak. Berikut ini adalah platforms yang penulis ajukan untuk penyelenggaraan reformasi.
Platform Nasional – I
Manifesto Politik: Mempertahankan Indonesia Mer-deka, Berdaulat dan Bersatu (menjunjung tinggi national sovereignty dan territorial integrity).
Manifesto Budaya: Menegakkan Bhinneka Tunggal Ika – pluralisme adalah aset nasional bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila adalah “asas bersama” (bukan “asas tunggal”). Pancasila merupakan ikatan pemersatu bagi pluralisme dalam kehidupan bermasyarakat.
Platform Nasional– II
Kemerdekaan berarti: berdaulat dalam politik, berdi-kari dalam ekonomi, berkepribadian dalam budaya.
Platform Nasional– III
Kepentingan nasional adalah utama, tanpa mengabai-kan tanggung jawab global, dengan menganut politik luar negeri “bebas aktif”.
Platform Nasional– IV
Yang kita bangun adalah rakyat, bangsa dan negara.
Pembangunan ekonomi adalah derivat untuk mendukung pembangunan rakyat, bangsa dan negara. Dalam bidang ekonomi pengembangan ekonomi rakyat memberi makna substantif terhadap platform ini.
Platform Nasional– V
Hubungan ekonomi nasional berdasar “kebersamaan” (mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brother-hood atau ukhuwah, bukan kinship atau kekerabatan) yang partisipatif dan emansipatif. Keadilan yang genuine hanya bisa terwujud di dalam suasana kekeluargaan (brotherhood atau ukhuwah) itu.
Platform Nasional– VI
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok-pokok kehidupan rakyat, digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat, dari generasi ke generasi.
Platform Nasional– VII
Proaktif ikut mendisain ujud globalisasi, berposisi sebagai subyek, bukan obyek dalam globalisasi.
Platform Nasional–VIII
Untuk melaksanakan Otonomi Daerah dalam NKRI, kita harus tetap membangun Pemerintah Pusat yang kuat, yang kita tolak adalah Sentralisme Pusat.
Platform Nasional– IX
Yang kita tuju adalah “Pembangunan Indonesia” bukan sekedar “Pembangunan di Indonesia”.
Platform Nasional– X
Hutang luar negeri bersifat pelengkap dan semen-tara. Investasi asing berdasar pada asas mutual benefit, bukan predominasi (tidak overheersen).
Platforms di atas disusun dan dikembangkan dari pemikiran-pemikiran Mohammad Hatta, terutama mengenai kebangsaan, kerakyatan, kedaulatan negara, keberdikarian, demokrasi ekonomi, politik luar negeri bebas-aktif, percaturan dan pertentangan global, otonomi daerah dan adagium Hatta “menjadi tuan di negeri sendiri”.
Tentu platforms di atas kalau perlu dapat di-tambah lagi sesuai dengan perkembangan yang ada. Masalah selanjutnya adalah bagaimana platforms tersebut disosialisasikan agar dapat diterima sebagai paradigma reformasi, menuju kepentingan bersama, yaitu Indonesia yang Merdeka, Berdaulat dan Bersatu sebagai bangsa maju dalam kesetaraan global
»»  read more

Islam Menjawab Problem Lingkungan

ISLAM MENJAWAB PROBLEM LINGKUNGAN

Di samping isu pendidikan, iptek, ekonomi, dan politik, perhatian dunia saat ini juga tertuju pada perubahan iklim secara global. Perubahan iklim ini terjadi dari tahun ketahun secara signifikan hingga mencapai titik menghawatirkan seperti saat ini. Walau perubahan iklim secara alamiah akan terjadi, namun sejak abad ke 18, perubahan iklim secara cepat dipicu oleh ulah tangan manusia atau biasa disebut perubahan iklim antropogenik. Tidak kurang dari 90 persen, tangan manusia telah menyumbangkan perubahan iklim tersebut. Dan sebagai dampaknya, suhu di permukaan bumi mengalami peningkataan atau biasa disebut pemasan global.
Di antara pemicu utama perubahan iklim ialah berasal dari emisi gas buangan yang dihasilkan oleh bahan bakar yang digunakan manusia berupa bahan bakar posil, minyak, batu bara dan gas. Berbagai bahan bakar tersebut menghasilakn gas buangan berupa karbon dioksida(Co2) yang secara alami menamabah kadar Co2 alami yang ada pada atmosfer bumi. Dalam kadarnya yang tertentu, karbon dioksida yang ada berfungsi menghangatkan permukaan bumi dengan menahan cahaya matahari yang masuk agar tidak terpantul kembali ke luar atmosfer. Namun dalam jumlah yang berlebihan, Co2 tersebut dapat menigkatkan suhu permukaan bumi hingga menyebabkan pemanasan global.
Setelah terjadinya peningkatan tempratur yang diakibatkan jumlah karbon yang berada di atmosfer melebihi kadar alami, di samping dampak pemanasan global, selanjutnya akan terjadi dampak ikutan di antaranya berupa perubahan curah hujan, naiknya permukaan laut akibat mencairnya es di kutub, perubahan amplitudo waktu antara siang dan malam, serta sederet dampak lainnya. Dampak-dampak tersebut terus terjadi dan semakin parah jika emisi gas buang terus dibiarkan tak terkendali.
Tidak hanya di udara, jutaan kubik karbon juga terserap oleh laut dan berakibat buruk bagi ekosistem laut. Dari penelitian yang ada, penyerapan karbon oleh laut akan menyebabkan keasaaman laut meningkat. Salah satu akibat penyerapan ini yaitu akan merusak kemampuan laut dalam menyediakan komposisi kimia agar binatang laut dapat membuat cangkang dan skelekton.
Laporan PBB menyebutkan, tiak kurang dari 25% gas buangan yang dihasilkan manusia di darat akan terserap oleh laut dan menyebabkan asam karbon. Dan sebagai dampaknya akan terjadi reaksi berantai yang mengancam kehidupan laut. Menurut laporan tersebut, perubahan keaasaman laut 100 kali lebih cepat dari perubahan keaasaman laut alami yang terjadi selama 20 juta tahun. Dengan kondisi seperti ini, diperkirakan pada 2100 mendatang, tidak kurang dari 70% karang yang ada di lautan akan mengalami kerusakan.
Salah seorang ilmuan senior pada Institut Riset Moterey Bay Aquarium mempertegas, jumlah karbon yang terserap laut saat ini yaitu sekitar 530 milyar ton. Dan perubahan keasaman laut sebagai dampaknya akan terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan bertambahnya jumlah karbon yang terserap.
Selain itu, perubahan iklim dan lingkungan juga dipicu oleh kegiatan manusia yang menghasilkan emisi gas buangan lainnya yaitu berupa nitro oksida atau disebut juga gas tawa. Berdasarkan riset, gas tawa ini dapat membahayakan manusia dan lingkungan berupa perusakan lapisan ozon. Lapisan ozon yang berada di atmosper befungsi melindungi manusia, hewan, dan tumbuhan dari terpaan sinar ultraviolet dari matahari. Jika lapisan ozon menipis, kerusakan pada hewan dan tumbuhan akan terjadi sedangkan pada manusia akan menyebabkan terjadinya kangker pada jaringan kulit.
Karbon nitrooksida ini dihasilkan oleh berbagai aktifitas manusia seperti dampak sampingan dari penggunaan pupuk pada pertanian, kotoran hewan, pembakaran sampah, air selokan dan gas buangan industri. Berdasar penelitian para ahli, walau pun gas nitro oksida ini 1/60 kurang berbahaya dari penggunaan CFC yang telah dilarang sejak tahun 80-an, namun sebanya 10 juta ton gas nitro oksida ini dihasikan oleh aktifitas manusia setiap tahunya. Dengan jumlah sebanyak itu, dan kemungkinan akan terus meningkat, para ahli memperkirakan bahayanya seimbangang dengan pengunaan CFC.
Masih banyak kerusakan-kerusakan lingkungan lain yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia baik di darat maupun di lautan. Kerusakan ini mungkin akan terus terjadi selama manusia tidak menyadarkan dirinya untuk menjaga lingkungan. Baru-baru ini sekitar tanggal 7 bulan Desember yang lalu, sekitar 192 pejabat penting dari barbagai Negara berkumpul dalam sebuah KTT yang diadakan di Kopenhagen Denmark. Konprensi tingkat tinggi tersebut sengaja digelar untuk membicarakan dan mencari kesepakatan prihal perubahan iklim dan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh emisi gas buangan secara global.
Negara-negara tersebut mencoba berkomitmen untuk perubahan iklim yang lebih baik. Namun sayangnya, dari beberapa kali KTT tentang perubahan iklim dan lingkungan yang pernah diselenggarakan, belum tercatat hasil yang memuaskan dan emisi gas buangan semakin meningkat tiap tahunnya. Umpamanya, setelah diadakan Konfrensi Tingkat Tinggi perubahan iklim untuk pertama kalinya tahun 1992 di Rio de Janeiro Berasil, kemudian yang kedua di Jepang pada tahun 1997 dengan menghasilkan Protokol Kioto, Amerika masih tercatat sebagai penghasil emisi terbesar kedua di dunia dengan jumlah 15,5 persen emisi gelobal atau setara dengan 6.087 metrix ton Co2. Disusul Cina dengan menempati posisi pertama sebesar 20,7 persen atau setara dengan 8.106 mertix ton Co2. Terbesar ketiga penghasil emisi global ialah Uni Eropa sebesar 11,8 persen atau setara dengan 4. 641 metrix ton Co2. Selanjutnya adalah India sebesar 1. 963 metrix ton Co2. Jepang sebanyak 1. 293 metrix ton Co2, dan diikuti oleh Negara-negara seperti Aprika, Negara-negara teluk, serta Negara-negara kecil lainnya.
Disamping jumlah emisi global yang terus meningkat dari tahun ketahun serta lemahnya komitmen pada KTT-KTT sebelumnya, yang paling mengecewakan adalah KTT di Kopenhagen kali ini pun dikabarkan mengalami kegagalan untuk mewujudkan komitmen bersama yang tegas. Kegagalan pertemuan Kopenhagen terliahat nyata pada menit-menit terakhir saat pemimpin AS, Cina, India, Berasil, Afrika Selatan, serta Negara-negara besar Eropa menjangjikan akan membayar dana 100 juta dolar AS bagi Negara-negara miskin yang menanggung beban akibat pemanasan global. Selain itu, terjadi pula aksi saling tuduh antar anggota konprensi tersebut hingga akhirnya KTT tersebut berakhir dengan sengat tidak memuaskan.
Demikian gonjang-ganjing itu terjadi dalam KTT tersebut. Seolah mereka tidak peduli dengan kerusakan lingkungan yang terjadi, komitmen mereka tidak secara tegas san serius akan menyelesaikan masalah lingkungan. Bahkan, mereka terus mengeksploitasi dan menodai alam hanya untuk meraih keuntungan yang bersifat ekonomis semata. Hal ini sungguh menghawatirkan apalagi jika kenyataan ini terus dibiarkan, maka lingkungan akan semakin tercemar.
Bila fenomena pencemaran lingkungan sebagai mana diatas kita telisik lebih jauh, ternyata hal tersebut memiliki kaitannya yang erat dengan pandangan keagamaan atau idiologi tertentu. Salah seorang Profesor dari Universitas Hawaii yang menekuni peran agama dalam mengatasi beberapa krisis budaya dan lingkungan yaitu Graham Parker, menyatkan dalam salah satu teorinya bahwa pandangan keagamaan atau idiologi satu masyarkat tertentu sangat mempengaruhi sikap dan prilaku terhadap lingkungannya. Teori ini mirip dengan teori Max Weber tentang pengaruh pandangan agama atau idiologi tertentu terhadap prilaku manusia. Weber mengatakan bahwa konsep keagamaan sangat menentukan sikap ekonomi suatu masyarakat. Sebagai contoh, Weber menggambarkan bagaimana semangat kapitalisme tumbuh di Barat sebagai akibat dari pandangan keagamaan dalam etika Protestan.
Untuk menguatkan teorinya, Parker menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi merupakan akibat penggunaan produk teknologi modern secara besar-besaran. Ia meyakini bahwa dibalik kerusakan-kerusakan yang terjadi saat ini tersimpan pandangan-pandangan keagamaan serta idiologi tertentu yang berperan sebagai pendorong dan pemicu kearah yang tidak bersahabat pada alam dan lingkungan. Dalam hal ini ia mengemukakan dua alur pemikiran mendasar sebagai landasan utama terbentuknya world view (sikap dan pandangan) manusia modern. Landasan tersebut menurutnya yang pertama adalah latar belakang filsafat Platonik yang menganggap alam nyata (pshycal world) tak berwujud dalam kaitannya dengan alam rasional manusia. Yang kedua adalah ajaran Yahudi-Kristen yang menempatkan alam dan lingkungan posisi yang lebih rendah dari martabat manusia.
Selain itu, kedua landasan tesebut juga semakin diperkuat oleh teori-teori modern seperti halnya apa yang dikemukakan Descrates yang menyatakan jangankan pepohonan dan tumbuh-tumbuhan, binatang sekalipun tidaklah bernyawa. Disamping itu Newton juga mengatakan bahwa alam ini tidak lain hanyalah kumpulan-kumpulan partikel tanpa nyawa. Dengan pandanga-pandangan semacam diatas, maka wajar saja manusia-manusia modern memperlakukan alam yang ada diluar dirinya hanya sebagai objek untuk mencapai kenikmatan-kenikmatan sementara dan memenuhi hawa nafasu.
Parker mempertegas, baik itu landasan filosofis, idiologis, ataupun agama yang dianut pada gilirannya akan menjadi watak pada penganutnya yang mempengaruhi sikap dan pandangan mereka dalam memperlakukan alam semesta. Oleh karena itu ia mengajak segenap kalangan untuk mempromosikan dan menjadikan ide agama sebagai salah satu solusi untuk mengatasi pencemaran lingkungan yang bersifat global ini.
Ditengah keperihatinan terhadap pencemaran lingkungan yang terjadi saat ini dan harapan terhadap agama sebagaimana terlihat diatas, sebagai muslim menarik kiranya bila kita menohok lebih dalam terhadap agama kita tentang bagaimana kiranya Islam menberikan solusi dalam hal ini. Jauh sebelum pencemaran lingkungan yang memperihatinkan seperti saat ini terjadi, Islam telah memberikan landasan bagaimana manusia mesti memposiskan dirinya terhadap alam. Dr. Alwi Shihab dalam salah satu bukunya menjelaskan bagaimana Islam (al-Qur’an) membeikan landasan tersebut. Ia menyebutkan, dalam al-Qur’an terdapat dua kosep sebagai acuan dalam membina interaksi manusia dengan alam. Dua konsep tersebut menurutnya yaitu taskhir dan istikhlaf . Taskhir berarti manusia diberi wewenang untuk menggunakan alam guna mencapai tujuan penciptaanya sesuai dengan tuntunan Ilahi. al-Qur’an menegaskan, “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya dengan sia-sia. Itu anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena akan masuk neraka .”
Adapun istikhlaf, yaitu bekaitan dengan penugasan Tuhan kepada manusia sebagai khilafah di bumi ini. Dalam hal ini, Allah SWT menggaris bawahi bahwa hubungan antara manusia dengan alam tidak bersifat menaklukan, tetapi menciptakan interaksi harmonis dan kebersamaan dengan alam dalam ketaatan pada Allah. Alam bukanlah musuh manusia yang mesti ditaklukan sebagai mana dalam mitos Yunani. Alam sejajar dan senasib dengan manusia dalam ketundukannya pada Allah. Tidak hanya manusia, alam pun mengagungkan Tuhan walau pun manusia tidak dapat memahaminya(QS 57: 1; 59: 61;13:13). Selain alam, binatang melata, unggas, dan makhluk-makhluk yang ada di air semuanya itu mengaggungkan Allah seperti halnya manusia. “Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dikumpulkan.”
Pada ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman,“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung; tetapi semua enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khwatir tidak akan melaksanakanya (berat), lalu dipikulah amanat itu oleh manusia. Sungguh manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh” (QS 33: 72). “Kemudian Dia menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa asap, lalu Ia berfirman kepadnya dan kepada bumi, ‘Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa’. Keduanya menjawab, kami datang dengan patuh” (QS 41: 11). “Dan carilah (pahala)negri akhirat dengan apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu, tetapi jangalah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi, sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan di bumi (QD 28: 77).”
Demikian Islam memberikan landasan yang asasi kepada manusia dalam menentukan sikapnya terhadap alam. Alam semesta sama seperti halnya manusia memiliki kewajiban untuk ta’at terhadap Allah. Bedanya, manusia dengan kesanggupannya diberi tugas lebih yaitu sebagai pemimpin (khalifah) di bumi ini namun tidak secara otomatis dengan kelebihan tersebut manusia dapat berlaku sewenang-wenang terhadap alam. Karena Islam mengajarkan, perlakuan semena-mena terhadap alam (berbuat kerusakan), termasuk perbuatan zalim yang akan diperhitungkan di akhirat kelak, sama seperti halnya perlakuan zalim terhadap manusia.
Dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an sebagaimana diatas, nyatalah Islam sangat memperhatikan keserasian hubungan antara manusia dan alam. Hal ini tiada lain ditujukan agar tidak terjadi gangguan terhadap sistem ekologi. Oleh karena itu, Islam akan mampu memberikan landasan yang dapat mengatur sikap dan prilaku manusia agar tidak berlaku semena-mena terhadap alam karena Islam dirutunkan sebagai rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam. Huallohu ‘Alam..
»»  read more

Senin, 22 November 2010

Dies Natalis Universitas Trisakti

"Kita Bangga Universitas Trisakti Semakin Diakui Dunia Internasional"

Dies Natalis ke 44 Universitas Trisakti ditandai dengan dilaksanakannya acara pokok Sidang Senat Terbuka tanggal 10 Desember 2009 yang berlangsung di Auditorium Gedung D Lantai 8, Kampus A Usakti, Grogol Jakarta Barat. Tema Dies Natalis kali ini adalah "Peran Universitas Trisakti dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial berdasarkan kearifan lokal".

Pada kesempatan yang berbahagia tersebut, Rektor Universitas Trisakti Prof Dr Thoby Mutis menyampaikan laporannya berkaitan dengan perkembangan lembaga pendidikan tinggi yang dipimpinnya itu dan hal-hal apa saja yang sudah dicapai selama ini.

Acara pokok peringatan Dies Natalis Usakti ke 44 ini diisi pula dengan orasi ilmiah yang disampaikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus , Dr. Marwan Effendy, SH yang mengangkat tema "Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Secara Integral dan Sistematik Sebagai Salah Satu Upaya Meningkatkan Kesejahteraan dan Keadilan Sosial".

Usai acara inti dilanjutkan dengan pemberian penghargaan Universitas Trisakti kepada dosen, karyawan dan mahasiswa yang terpilih sebagai karyawan dan dosen teladan, karyawan dan dosen yang sudah memasuki masa bhakti 5 tahun, peneliti terbaik, pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat terbaik dan pemberian beasiswa untuk organisatoris terbaik.

Laporan Rektor

Dalam laporannya di depan Sidang Senat Terbuka, Rektor Usakti Prof Dr Thoby Mutis menyampaikan berbagai fakta kemajuan yang sudah diraih Usakti baik di tingkat nasional maupun inernasional. Kita patut bangga atas kepercayaan internasional kepada Universitas Trisakti yang merupakan salah satu perguruan tinggi swasta yang dipercaya oleh pemerintah melalui Ditjen Pendidikan Tinggi untuk mendidik dan memberikan beasiswa kepada 12 mahasiswa yang berasal dari negara-negara berkembang, antara lain dari Uganda, Gambia, Ethiopia, Papua Neugini, Laos, Kamboja, Madagaskar, Thailand dan Bangladesh. Kita juga merasa berbahagia sebagai salah satu perguruan tinggi yang mendapat kehormatan dan kepercayaan dari masyarakat Indonesia dan juga luar negeri untuk mendidik sumber daya manusia yang berkualitas. Bukti ini didukung oleh jajak pendapat Pusat Data dan Analis Tempo (PDAT) 2009 menempatkan Universitas Trisakti di peringkat 9 Perguruan Tinggi Terbaik di Indonesia, dan Universitas Trisakti merupakan satu-satunya dari perguruan tinggi swasta yang masuk dalam 10 besar," jelasnya.

Selain itu prestasi para dosen maupun mahasiswa yang mendapat berbagai penghargaan dan mengukir prestasi di berbagai event baik nasional dan internasional juga semakin mengharumkan nama Usakti. Kepeloporan Universitas Trisakti di berbagai bidang

anatara lain ditunjukkan dengan dibukanya Konsentrasi Corporate Social Responsibility (CSR) pada Program Magister Manajemen, Program Diploma IV Ilmu Keuangan serta Program Diploma III Syariah yang telah mendapatkan izin penyelenggaraan dari Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas dan mendapat sambutan yang baik dari masyarakat.

Demikian pula kepedulian terhadap pengembangan ekonomi rakyat khususnya Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), peran pembinaan yang dilakukan Usakti selama ini telah membuahkan hasil yang manis. Pembinaan kepada Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Kodanua di Jelambar Jakarta Barat telah menjadikan koperasi tersebut mampu mengembangkan sayap usahanya ke berbagai kota besar di Indonesia. Jumlah anggota dan total omsetnya terus meningkat membuat Koperasi Kodanua beberapa kali terpilih sebagai koperasi teladan tingkat nasional. Di lingkungan internal, universitas melakukan pembinaan dan pengembangan serta arahan secara terus menerus kepada Koperasi Karyawan Trisakti dan Koperasi Mahasiswa sehingga perkembangan usaha kedua koperasi terus meningkat yang mempunyai aspek berkaitan dengan social entrepreneurship yang berproses.

Berbagai kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat maupun penelitian tidak luput memberikan sumbangsihnya terhadap keberadaan Universitas Trisakti. Dalam rangka meningkatkan kemampuan di bidang Tridharma Perguruan Tinggi, Universitas Trisakti telah melakukan banyak aliansi strategis dengan lebih dari 50 institusi, baik di dalam negeri maupun luar negeri, antara lain pertukaran dosen dan mahasiswa, kerjasama pendididkan dual degree/twining program yang telah meluluskan 11 dengan beberapa negara beberapa program studi.

Rektor menyatakan bahwa saat ini tidak diragukan lagi bahwa Universitas Trisakti merupakan asset nasional yang berharga dan dikelola secara baik dan benar sesuai visi dan misinya. Dr. Marwan Effendy, SH selaku Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus memberikan orasi ilmiahnya yang berjudul "Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Secara Integral dan Sistemik Sebagai Salah Satu Upaya Meningkatkan Kesejateraan dan Keadilan Sosial".

Ia mengatakan bahwa tuntutan terhadap keseriusan pemerintah dalam penanggulangan tindak pidana korupsi, akhir-akhir ini semakin marak terutama dipisu gencarnya pemberitaan terkait dengan beberapa oknum penegak hukum yang dituding melakukan perbuatan tercela, melakukan pemerasan dan penyalahgunaan wewenangnya. Marwan meyebutkan bahwa korupsi sudah melanda negeri ini sejak lama dan sudah menyentuh ke semua lini kehidupan masyarakat, sudah berkembang di tengah-tengah masyarakat, dimana dalam kehidupan sehari-hari sudah menjadi kebiasaan, dimana untuk mempercepat suatu urusan, seseorang terbiasa memberikan "uang pelican" uang rokok atau dalam bentuk lain.

Ia mengutip hasil penelitian Badan Pemerikasa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang mengidentifikasi beberapa aspek penyebab perbuatan koruptif, yaitu :

1.
Aspek individu yang meliputi; sifat tamak, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan kurang mencukupi, kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya konsumtif, malas atau tidak mau bekerja keras dan ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara benar.
2.
Aspek organisasi dalam arti luas, termasuk organisasi di dalam lingkungan masyarakat.
3.
Aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada; nilai-nilai yang berlaku di masyarakat ternyata kondusif untuk terjadinya korupsi.
4.
Aspek peraturan perundang-undangan. Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di bidang perundang-undangan dan sanksi terlalu ringan, penetapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi undang-undang.

Pada akhir orasi ilmiahnya, Marwan menyimpulkan bahwa langkah integral dan sistemik dalam memberantas korupsi, baik secara preventif perlu disinergikan, mengingat tindakan represif saja dalam menghadapi karateristik dan dimensi korupsi belum teruji efektivitasnya. "Let's eradicate corruptions start from ourself, start from small thing little by little, and start from today (Mari kita berantas korupsi mulai dari diri sendiri, mulai dari hal-hal yang kecil-kecil sedikit demi sedikit, dan mulai hari ini" ajaknya dengan bersemangat

Masyarakat Kampus, Vol. 6 No.106 - 08 Januari 2010
»»  read more

zorpia

Edit Event
Dear Noor,
Say hello to new Zorpians from JaKaRta BaRaT
 

Recent Post

Pendukung

Powered By Blogger

Iklan

Status Rank

Iklan